“usaha
tanpa do’a itu sombong, do’a tanpa usaha itu bohong”
Subuh
masih terasa seperti biasanya, tak ada hal yang aneh. Suasana gelap dengan
dinginnya hawa dipagi hari selalu rutin menyapaku beranjak dari tempat tidur.
Setelah kuambill wudhu dan bersiap untuk melaksanakan shalat subuh, aku segera
menuju masjid. Suara ayat-ayat al-qur’an yang dibacakan Buya kembali
menggetarkan hatiku. Surat al-ghosyiah adalah surat yang biasa neliau baca pada
waktu jama’ah subuh.
Setelah
dzikir, Buya memulai irsyadat (pengarahan yang buasa diberikan setelah jama’ah
shalat subuh) seperti biasanya. Buya memulai dengan membaca sebuah surat yang
diserahkan oleh mudir ma’had tadi sebeum shalat subuh yang ternyata berisi
tentang program beasiswa yang diberikan oleh Kementrian Agama pada pondok kami,
Al-Basyariyah
.
“Anak-anakku
para santri, alhamdulillah pada kesempatan ini kita mendapat tawaran beasiswa
dari Kementrian Agama. Pada tahun ini kita diberi kesempatan mengutus 10 orang
santri untuk selanjutnya diseleksi oleh pihak Kementrian Agama dan yang lulus
akan diberi Beasiswa full selama 4 tahun, bahkan diberi uang saku perbuan
sekitar delapan ratus ribu perbulannya. Maka dari itu Buya persilahkan kepada
Mudirul Ma’had untuk menyeleksi 10 orang santri dari kelas akhir untuk mengikuti
program tersebut.” Terang Buya di awal isrsyadatnya.
Harapan
untuk bisa mengikuti program tersebut mulai mengelilingi kepalaku. “Apakah
mungkin aku bisa mendapatkan beasiswa yang banyak orang inginkan itu?. “
gumamku. Akupun kembali menyimak irsyadat Buya selanjutnya, tentang rencana
pembangunan baru di pondok, evaluasi disiplin dan satu hal yang tak pernah Buya
lewatkan dalam irsyadatnya, selalu meminta petunjuk pada Allah untuk dibukakan
segala kebaikan dalam hidup. Akupun kembali teringat kata-kata yang diucapkan
oleh salah seorang temanku di kampung. “ingat kang, kamu itu enak bisa sekolah
sambil mesantren, aku cuma bisa sampai SD, berjuang sungguh-sungguh dan
berdo’a, ingat ini kang “Usaha tanpa do’a itu sombong, do’a tanpa usaha itu
bohong”, sukses selalu ya kang.”
Beberpa
hari setelah itu, Mudirul Ma’had segera menunjuk sebagian guru untuk menjadi
panitia seleksi program beasiswa yang pesertanya diambil dari anggota kelas
akhir, 6 TMI, 3 IPA dan 3 IPS baik putra ataupun putri. Beliau menerangkan bahwa
seleksi dilakukan dengan menjaring nilai tertinggi pada semester akhir sebelum
program ini ada, yaitu nilai semester ganjil di kelas akhir. Harapanku mulai
cemas, karena aku hanya mendapat rangking ke-5 dari kelas 6 TMI putera,
sainganku begitu banyak.
Hari
seleksi pun tiba, 20 orang peserta dikumpulkan oleh Mudir dan selanjutnya diuji
oleh beberapa guru yang berompeten dalam bidang-bidang yang akan diujikan
dengan sistim ujian lisan. Akupun segera maju saat namaku dipanggil oleh guru
pengujiku dari yang satu menuju yang lainnya. Saat semuanya selesai, semua guru
rapat dengan mudir untuk menentukan santri yang lulus seleksi tersebut dan akan
diumumkan beberapa hari selanjutnya.
“Semoga
aku mendapat kesempatan itu”, itulah harapan yang selalu terbesit dalam otakku.
Aku harus berusaha dan berdo’a untuk mendapatkannya, terlebih sebelumnya
kakakku juga lulus untuk mendapat beasiswa ke Surabaya. Kuliah gratis dan
mendapat uang saku tentunya akan mengurangi beban orangtuaku. Anak delapan
pasti menguras tenaga beliau untuk mencari nafkah. Walaupun beliau tak pernah
mengeluh, dan beliau selalu yakin bahwa Rizki sudah diatur oleh Yang Maha
Kuasa, tapi keinginanku sebagai seorang anak lelaki untuk mengurangi beban
kedua orang tua selalu ada, walaupun aku anak nomor tiga.
.......
Pagi
ini terasa beda, cuaca dingin tidak begitu terasa di tubuhku. Kulangkahkan kaki
untuk menuju masjid dan melaksanakan sholat subuh berjama’ah. Ternyata saat itu
Buya tidak memimpin Sholat subuh dan siwakilkan oleh Mudirul Ma’had. Buya memang
biasa mewakilkan kepada mudirul ma’had pada saat-saat tertentu, terutama disaat
beliau kurang sehat. Selain itu juga memberi kesempatan kepada Mudirul
Ma’ad untuk memberikan atau menyampaikan
hal-hal yang berkaitan dengan bidang pendidikan.
Setelah
dzikir, mudir pun menyampaikan irsyadat, yang salahsatu isinya ialah pengumuman
peserta yang berhak diajukan oleh pondok untuk mendapatkan beasiswa Kementrian
Agama. hatiku pun kembali deg-degan menanti nama-nama itu disebut.
“inilah
daftar 10 orang santri yang berhak mengikuti seleksi Program Beasiswa Santri
Berprestasi yang diadakan oleh Kementrian Agama, yang merasa namanya disebut
agar maju kedepan. Mereka itu adalah . . . satu . . Mahmud Zalaluddin, 6 TMI .
. .“ semua mata pun langsung pada tertuju pada kang Mahmud yang berjalan menuju
ke depan. Begitupun selanjutnya, dan selanjutnya. Sampain nomor sembilan
disebutkan, aku masih duduk ditempatku dengan perasaan cemas dan hampir putus
asa. Namun akhirnya . . . “sepuluh . . . Tamhid Amri, 6 TMI . . . semuanya
silahkan maju ke depan”.
Perasaan
senang pun seketika aku rasakan, tak peduli apakah ada orang lain yang
melihatku atau tidak saat aku maju, aku masih sibuk mengatur perasaanku sebdiri
yang senang karena mendapat peluang besar ini. Selanjutnya aku segera duduk
disamping kawan-kawanku yang lainnya dan kami mendengarkan irsyadat selanjutnya
di posisi paling depan. Sampai akhirnya irsyadat selesai, barulah kami
dikumpulkan oleh Mudir untuk diberi pengarahan.
“Kalian
nanti akan diberi bimbingan untuk mengikuti ujian ini. Namun sebelumnya kami
juga akan mengadakan ujian kedua untuk mengetahui kemampuan kalian. Ini agar
kalian terbiasa dan kami berharap kalian mengikutinya dengan sungguh-sungguh.
Gunakan kesempatan kalian dengan baik, jangan disia-siakan. Ujian babak kedua
akan dimulai besok, silahkan semuanya dipersiapkan.” Terang mudir pada semua
santri yang hadir disana.
Besoknya,
kami kembali berkumpul untuk mengikuti ujian babak kedua. Pada babak ini ujian
dilakukan dengan dua cara, yaitu lisan dan tulisan. Walaupun ada beberapa soal
yang tidak bisa kuselesaikan, namun aku tetap berusaha agar selalu memberi yang
terbaik. Setelah ujian selesai, kembali mudir mengingatkan kami agar terus
belajar dan selalu mempersiapkan segalanya. Beliau berharap semoga kami bisa
lolos semua. Sesuai dengan jurusan dan Perguruan Tinggi yang kami pilih nanti.
Tahap
selanjutnya ialah pengumpulan segala sesuatu yang menjadi persyaratan dalam
mengikuti beasiswa, ujian ini ialah ujian pemberkasan. Disela-sela kami
memenuhi persyaratan yang diperlukan, Mudir pun menunjukkan hasil ujian babak
kedua kemarin, alhamdulillah aku berada di urutan ketiga dari 10 orang yang
ada. Padahal sebelumnya aku berada di urutan paling akhir. Pada saat itu aku
hampir minder karena urutanku paling bawah. Namun ternyata sekarang aku berada
di urutan ketiga. Hal ini menambah kepercayaan diri dan semangatku untuk terus
berusaha, bahwa aku pasti bisa.
Ujian
tinggal satu hari lagi, aku dan teman teman yang lain masih terus berusaha
mempersiapkan ujian besok. Tak henti aku berdo’a semoga ujian besok diberi
kelancaran. Aku juga berencana nanti sore akan menelpon rumah, minta do’a kedua
orang tuakuuntuk kelancaran ujianku besok. Pada saat aku sedang santai sambil
membaca buku latihan psikotest, ada seseorang yang menghampiriku yang ternyata
adalah adik kelasku.
“Kang,
dipanggil sama Pak Mudir ke kantornya. Sekrang katanya kang” ujarnya sambil
meyakinkan padaku bahwa harus cepat pergi menemui mudir.
Sesampainya di ruang
mudir,
“silahkan duduk hid” kata Mudir.
“iya pak” jawabku sambil menuju kursi yang di persilahkan oleh Pak Mudir.
Sambil sedikit basa-basi pak mudir mengawali pembicaraan kami saat itu.
“silahkan duduk hid” kata Mudir.
“iya pak” jawabku sambil menuju kursi yang di persilahkan oleh Pak Mudir.
Sambil sedikit basa-basi pak mudir mengawali pembicaraan kami saat itu.
Pada
saat bersamaan, aku melihat seorang temanku yang juga kemarin masuk dalam 100
peserta beasiswa keluar dari ruangan Mudiroh (kepala sekolah putri) dengan
wajah kecewa dan tertunduk.
“kenapa dia? Wajahnya
ditekuk begitu . . . ah . . . semoga tidak terjadi apa-apa”
gumamku dalam hati.
Perhatianku kembali
pada pak mudir, kali ini wajahnya agak berbeda, tetap santai namun sedikit
serius.
“begini
hid, bapak mau minta maaf . . . “
ada
apa ini... ko tiba tibak pak mudir minta maaf? Pikiranku mencoba mengingat hal
yang sesungguhnya ku tidak tahu, tidak jelas . . . dan pak mudir pun melanjutkan pembicaraannya.
“kemarin semua berkas sudah kami kirim ke kementrian agama, alhamdulillah yang 8 masuk dan bisa ikut ujian besok. Tapi yang 2 orang yaitu Tamhid dan Vina tidak lolos dalam ujian pemberkasan, bapak sendiri tidak tau apa yang kurang, padahal kan semuanya sudah sama dan tidak ada yang beda. Tadi bapak sudah mencoba menelpon pihak sana dan katanya memang tidak lolos. Bapak harap kamu bisa terima dengan lapang dada, yakin saja mungkin Allah punya jalan lain untuk kamu”.
“kemarin semua berkas sudah kami kirim ke kementrian agama, alhamdulillah yang 8 masuk dan bisa ikut ujian besok. Tapi yang 2 orang yaitu Tamhid dan Vina tidak lolos dalam ujian pemberkasan, bapak sendiri tidak tau apa yang kurang, padahal kan semuanya sudah sama dan tidak ada yang beda. Tadi bapak sudah mencoba menelpon pihak sana dan katanya memang tidak lolos. Bapak harap kamu bisa terima dengan lapang dada, yakin saja mungkin Allah punya jalan lain untuk kamu”.
“iya
pak . . . tidak apa-apa” ujarku.
setelah
kembali berbasa-basi dengan pak mudir, aku pun pamit undur diri.
Perasaanku
bercampur aduk. Antara aneh, kecewa, sedih semuanya menjadi satu. Bagaimana
tidak, aku tidak lolos hanya dalam ujian pemberkasan yang padahal belum ujian
yang sesunbgguhnya, serasa aku kalah sebelum berperang. Aku pun kembali ke
kamar dan mencoba menenangkan hati. Mungkin ini juga ujian yang lain dari Allah
untuk diriku. Sampai di kamar, teman-temanku menghampiri dan mencoba
menghiburku. Aku pun hanya bisa memberi semangat kepada mereka yang akan ujian
besok. Aku bilang pada mereka bahwa kesempatan itu akan terasa berharga saat
kita kehilangannya. Aku hanya bisa memberi mereka semangat dan do’a. Setelah
itu, aku pun menelpon kedua orang tuaku. Yang semula akan meminta do’a untuk
ujianku besok, kini berubah bhawa aku minta dido’akan agar dilapangkan dada dan
Allah memberiku jalan yang terbaik menurut-Nya. Ibuku pun menghiburku, lambat
laun aku bisa tenang kembali. Sungguh ibu adalah penawar semua rasa sakitku
saat orang lain sibuk dengan urusan merekka masing-masing.
.........
Subuh
kembali datang. Shalat berjama’ah dan dzikir dipimpin oleh Buya. Namun sebelum
dzikir, Buya menyampaikan sesuatu,
“Bagi para santri yang hendak mengikuti ujian beasiswa nanti siang, Buya persilahkan untuk bersiap-siap sekarang juga, tidak usah mengikuti acara ini, Buya do’akan semoga semuanya lancar dan sukses”.
“Bagi para santri yang hendak mengikuti ujian beasiswa nanti siang, Buya persilahkan untuk bersiap-siap sekarang juga, tidak usah mengikuti acara ini, Buya do’akan semoga semuanya lancar dan sukses”.
pada
saat itu aku sedang berada didekat gerbang keluar dari tempat kami sholat,
karena memang itu adalah tugas keseharianku sebagai seorang Bagian Penegak Disiplin
saat itu untuk selalu menjaga santri yang keluar masuk dan mengingatkan santri
yang tidur saat acara bersama Buya. Maka satu-persatu temanku melewatiku dan
manatapku. Aku hanya bisa tersenyum dan memberi mereka semangat. Hal yang tak
aku sadari bahwa ternyata Buya memperhatikanku da ternyata Buya sudah
mengetahui masalah yang aku hadapi. Seketika itu tiba-tiba Buya berkata,
“Kenapa
harus ada yang tidak lulus ya . . . padahal smeuanya telah dipersiapkan
berkasnya, semuanya sama. Selain itu, orang yang tidak lulus juga adalah orang
yang baik, santri yang baik. Tapi mungkin Allah berencana lain untuk anak itu.
Semoga semua santri selalu mendapat yang terbaik dari Allah.” Uar Buya
menghibur kami yang tidak lulus saat pemberkasan. Setelah irsyadat Buya selesai,
aku pun kembali dan melaksanakan aktifitas seperti biasanya.
Lima
menit lagi masuk kelas, namun entah kenapa aku masih enggan beranjak. Bahkan
aku belum mandi, aku masih terdiam sambil melamun. Hingga 30 menit masuk kelas
aku masih saja melamun. Masyaallah . . . aku pun langsung menuju kamar mandi.
Namun saat aku berada di kamar mandi, tiba tiba seseorang mengetuk pintu, dan
ia berteriak,
“tamhid
. . . tamhid . . .” ujarnya.
Akupun
kaget. Suara ini tidak asing lagi bagiku, suara mulahidzul fashli (petugas
absesnsi sekolah). Akupun menggerutu karena aku
bolos ketahuan. Namun ternyata dia melanjutkan,
“kamu ditunggu di ruang mudir, tadi ada telpon susulan dan ternyata kamu lulus. Sekarang cepat persipan dan 15 menit lagi harus berada di tempat ujian Kementrian Agama.”
Kali ini perasaanku lebih bercampur aduk dari sebelumnya. Akupun segera menyelesaikan mandi, bersiap-siap.
“kamu ditunggu di ruang mudir, tadi ada telpon susulan dan ternyata kamu lulus. Sekarang cepat persipan dan 15 menit lagi harus berada di tempat ujian Kementrian Agama.”
Kali ini perasaanku lebih bercampur aduk dari sebelumnya. Akupun segera menyelesaikan mandi, bersiap-siap.
Sebelum
aku pergi, Buya memangilku menuju rumah beliau. Disana Buya hanya berkata “Buya
do’akan semoga kamu lulus, sekarang kamu berangkat, mudah mudahan masih sempat.
Kalau ternyata tidak, percayalah masih banyak cara Allah untuk menyukseskanmu”.
Akupun segera mencuim tangannya, semangatku kembali pulih, bahkan bertambah
berlipat-lipat. Setelah itu aku berngakat. Dijalan, tak lupa ku telfon kedua
orangtuaku. Beliau sempat terheran-heran, namun aku meyakinkan keduanya dan
segera meminta do’a.
Sesampai
di tempat ujian, tinggal aku dan Vina yang belum mengambil kartu perserta. Kami
pun langsung menuju ruang masing-masing. Petugasnya sempat menegurku dan dengan
singkat kuceritakan sebab keterlambatanku. Akupun masuk kedalam ruangan yang
disana hanya satu bangku yang tersisa, dan itu tempatku.
Bismillah . . . ku
awali ujianku. Kuselesaikan satu persatu dan kulewati yang memang tidak bisa ku
selesaikan.
..........
Hari
pengumuman pun tiba. Aku dan teman-teman segera menuju pusat koputer di pondok
untuk mengakses situd resmi Kementrian Agama yang akan menampilkan para peserta
yang lolos. Namun ternyata belum ada. Kami pun kembali mengeceknya besok hari,
dan ternyata masih sama. Sampai beberapa hari setelah itu akupun kembali
dipanggil ke ruang mudir. Disan pak mudir sudah menunggu. Saat aku memasuki
ruangan, beliau langsung bertanya sesuatu yang aneh menurutku,
“kalau
kamu lulus, mau ngasih apa sama bapak?” sambil tertawa beliau bertanya padaku.
“g tau pak . . .” jawabku sambil tertawa pula.
“g tau pak . . .” jawabku sambil tertawa pula.
“selamat
. . . ternyata kamu berhasil lolos beasiswa PBSB kemarin, dan kamu diterima di
IAIN WALISONGO Semarang untuk Fakultas Syari’ah Program Studi Konsentrasi Ilmu
Falak” ujarnya sambil memperlihatkanku daftar yang ada di situs Kemenag. Saat
aku melihat satu-persatu. Kembali pak mudir bercanda yang awalnya aku anggap
serius,
“liat tuh, masa kamu ada di urutan ke-49 dari 50 orang?”
“liat tuh, masa kamu ada di urutan ke-49 dari 50 orang?”
setelah
aku lihat, ternyata benar, aku berada di urutan itu. Aku pun malu sama beliau.
Namun beliau kembali berucap,
“ko
murung? Coba lihat dengan seksama, itu bukan urutan peringkat, tapi urutan
berdasarkan abjad. Namamu memang urutannya disana” candanya sambil tertawa
renyah.
Setelah berbasa basi
aku pun kembali ke kamar dengan persaan bahagia penuh syukur. Aku segera
memberitakannya pada kedua orang tuaku yang juga merasa sangat behagia. Namun
kembali ada perasaan yang kurang enak di hatiku, karena yang lulus dari kami
hanya kau seorang. Aku pun bergumam dalam hati,
“Jalan Allah memang tidak bisa ditebak-tebak . . . semua bisa berubah dengan kehendak-Nya . . . kita hanya bisa berusaha dan berdo’a . . . usaha tanpa do’a itu sombong, do’a tanpa usaha itu bohong”.
“Jalan Allah memang tidak bisa ditebak-tebak . . . semua bisa berubah dengan kehendak-Nya . . . kita hanya bisa berusaha dan berdo’a . . . usaha tanpa do’a itu sombong, do’a tanpa usaha itu bohong”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar