Cari Blog Ini

Rabu, 12 Desember 2012

Mission Impossible


“usaha tanpa do’a itu sombong, do’a tanpa usaha itu bohong”
Subuh masih terasa seperti biasanya, tak ada hal yang aneh. Suasana gelap dengan dinginnya hawa dipagi hari selalu rutin menyapaku beranjak dari tempat tidur. Setelah kuambill wudhu dan bersiap untuk melaksanakan shalat subuh, aku segera menuju masjid. Suara ayat-ayat al-qur’an yang dibacakan Buya kembali menggetarkan hatiku. Surat al-ghosyiah adalah surat yang biasa neliau baca pada waktu jama’ah subuh.
Setelah dzikir, Buya memulai irsyadat (pengarahan yang buasa diberikan setelah jama’ah shalat subuh) seperti biasanya. Buya memulai dengan membaca sebuah surat yang diserahkan oleh mudir ma’had tadi sebeum shalat subuh yang ternyata berisi tentang program beasiswa yang diberikan oleh Kementrian Agama pada pondok kami, Al-Basyariyah
.
“Anak-anakku para santri, alhamdulillah pada kesempatan ini kita mendapat tawaran beasiswa dari Kementrian Agama. Pada tahun ini kita diberi kesempatan mengutus 10 orang santri untuk selanjutnya diseleksi oleh pihak Kementrian Agama dan yang lulus akan diberi Beasiswa full selama 4 tahun, bahkan diberi uang saku perbuan sekitar delapan ratus ribu perbulannya. Maka dari itu Buya persilahkan kepada Mudirul Ma’had untuk menyeleksi 10 orang santri dari kelas akhir untuk mengikuti program tersebut.” Terang Buya di awal isrsyadatnya.
Harapan untuk bisa mengikuti program tersebut mulai mengelilingi kepalaku. “Apakah mungkin aku bisa mendapatkan beasiswa yang banyak orang inginkan itu?. “ gumamku. Akupun kembali menyimak irsyadat Buya selanjutnya, tentang rencana pembangunan baru di pondok, evaluasi disiplin dan satu hal yang tak pernah Buya lewatkan dalam irsyadatnya, selalu meminta petunjuk pada Allah untuk dibukakan segala kebaikan dalam hidup. Akupun kembali teringat kata-kata yang diucapkan oleh salah seorang temanku di kampung. “ingat kang, kamu itu enak bisa sekolah sambil mesantren, aku cuma bisa sampai SD, berjuang sungguh-sungguh dan berdo’a, ingat ini kang “Usaha tanpa do’a itu sombong, do’a tanpa usaha itu bohong”, sukses selalu ya kang.”
Beberpa hari setelah itu, Mudirul Ma’had segera menunjuk sebagian guru untuk menjadi panitia seleksi program beasiswa yang pesertanya diambil dari anggota kelas akhir, 6 TMI, 3 IPA dan 3 IPS baik putra ataupun putri. Beliau menerangkan bahwa seleksi dilakukan dengan menjaring nilai tertinggi pada semester akhir sebelum program ini ada, yaitu nilai semester ganjil di kelas akhir. Harapanku mulai cemas, karena aku hanya mendapat rangking ke-5 dari kelas 6 TMI putera, sainganku begitu banyak.
Hari seleksi pun tiba, 20 orang peserta dikumpulkan oleh Mudir dan selanjutnya diuji oleh beberapa guru yang berompeten dalam bidang-bidang yang akan diujikan dengan sistim ujian lisan. Akupun segera maju saat namaku dipanggil oleh guru pengujiku dari yang satu menuju yang lainnya. Saat semuanya selesai, semua guru rapat dengan mudir untuk menentukan santri yang lulus seleksi tersebut dan akan diumumkan beberapa hari selanjutnya.
“Semoga aku mendapat kesempatan itu”, itulah harapan yang selalu terbesit dalam otakku. Aku harus berusaha dan berdo’a untuk mendapatkannya, terlebih sebelumnya kakakku juga lulus untuk mendapat beasiswa ke Surabaya. Kuliah gratis dan mendapat uang saku tentunya akan mengurangi beban orangtuaku. Anak delapan pasti menguras tenaga beliau untuk mencari nafkah. Walaupun beliau tak pernah mengeluh, dan beliau selalu yakin bahwa Rizki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, tapi keinginanku sebagai seorang anak lelaki untuk mengurangi beban kedua orang tua selalu ada, walaupun aku anak nomor tiga.
.......
Pagi ini terasa beda, cuaca dingin tidak begitu terasa di tubuhku. Kulangkahkan kaki untuk menuju masjid dan melaksanakan sholat subuh berjama’ah. Ternyata saat itu Buya tidak memimpin Sholat subuh dan siwakilkan oleh Mudirul Ma’had. Buya memang biasa mewakilkan kepada mudirul ma’had pada saat-saat tertentu, terutama disaat beliau kurang sehat. Selain itu juga memberi kesempatan kepada Mudirul Ma’ad  untuk memberikan atau menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan bidang pendidikan.
Setelah dzikir, mudir pun menyampaikan irsyadat, yang salahsatu isinya ialah pengumuman peserta yang berhak diajukan oleh pondok untuk mendapatkan beasiswa Kementrian Agama. hatiku pun kembali deg-degan menanti nama-nama itu disebut.
“inilah daftar 10 orang santri yang berhak mengikuti seleksi Program Beasiswa Santri Berprestasi yang diadakan oleh Kementrian Agama, yang merasa namanya disebut agar maju kedepan. Mereka itu adalah . . . satu . . Mahmud Zalaluddin, 6 TMI . . .“ semua mata pun langsung pada tertuju pada kang Mahmud yang berjalan menuju ke depan. Begitupun selanjutnya, dan selanjutnya. Sampain nomor sembilan disebutkan, aku masih duduk ditempatku dengan perasaan cemas dan hampir putus asa. Namun akhirnya . . . “sepuluh . . . Tamhid Amri, 6 TMI . . . semuanya silahkan maju ke depan”.
Perasaan senang pun seketika aku rasakan, tak peduli apakah ada orang lain yang melihatku atau tidak saat aku maju, aku masih sibuk mengatur perasaanku sebdiri yang senang karena mendapat peluang besar ini. Selanjutnya aku segera duduk disamping kawan-kawanku yang lainnya dan kami mendengarkan irsyadat selanjutnya di posisi paling depan. Sampai akhirnya irsyadat selesai, barulah kami dikumpulkan oleh Mudir untuk diberi pengarahan.
“Kalian nanti akan diberi bimbingan untuk mengikuti ujian ini. Namun sebelumnya kami juga akan mengadakan ujian kedua untuk mengetahui kemampuan kalian. Ini agar kalian terbiasa dan kami berharap kalian mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Gunakan kesempatan kalian dengan baik, jangan disia-siakan. Ujian babak kedua akan dimulai besok, silahkan semuanya dipersiapkan.” Terang mudir pada semua santri yang hadir disana.
Besoknya, kami kembali berkumpul untuk mengikuti ujian babak kedua. Pada babak ini ujian dilakukan dengan dua cara, yaitu lisan dan tulisan. Walaupun ada beberapa soal yang tidak bisa kuselesaikan, namun aku tetap berusaha agar selalu memberi yang terbaik. Setelah ujian selesai, kembali mudir mengingatkan kami agar terus belajar dan selalu mempersiapkan segalanya. Beliau berharap semoga kami bisa lolos semua. Sesuai dengan jurusan dan Perguruan Tinggi yang kami pilih nanti.
Tahap selanjutnya ialah pengumpulan segala sesuatu yang menjadi persyaratan dalam mengikuti beasiswa, ujian ini ialah ujian pemberkasan. Disela-sela kami memenuhi persyaratan yang diperlukan, Mudir pun menunjukkan hasil ujian babak kedua kemarin, alhamdulillah aku berada di urutan ketiga dari 10 orang yang ada. Padahal sebelumnya aku berada di urutan paling akhir. Pada saat itu aku hampir minder karena urutanku paling bawah. Namun ternyata sekarang aku berada di urutan ketiga. Hal ini menambah kepercayaan diri dan semangatku untuk terus berusaha, bahwa aku pasti bisa.
Ujian tinggal satu hari lagi, aku dan teman teman yang lain masih terus berusaha mempersiapkan ujian besok. Tak henti aku berdo’a semoga ujian besok diberi kelancaran. Aku juga berencana nanti sore akan menelpon rumah, minta do’a kedua orang tuakuuntuk kelancaran ujianku besok. Pada saat aku sedang santai sambil membaca buku latihan psikotest, ada seseorang yang menghampiriku yang ternyata adalah adik kelasku.
“Kang, dipanggil sama Pak Mudir ke kantornya. Sekrang katanya kang” ujarnya sambil meyakinkan padaku bahwa harus cepat pergi menemui mudir.
Sesampainya di ruang mudir,
“silahkan duduk hid” kata Mudir.
“iya pak” jawabku sambil menuju kursi yang di persilahkan oleh Pak Mudir.
Sambil sedikit basa-basi pak mudir mengawali pembicaraan kami saat itu.
Pada saat bersamaan, aku melihat seorang temanku yang juga kemarin masuk dalam 100 peserta beasiswa keluar dari ruangan Mudiroh (kepala sekolah putri) dengan wajah kecewa dan tertunduk.
“kenapa dia? Wajahnya ditekuk begitu . . . ah . . . semoga tidak terjadi apa-apa” gumamku dalam hati.
Perhatianku kembali pada pak mudir, kali ini wajahnya agak berbeda, tetap santai namun sedikit serius.
“begini hid, bapak mau minta maaf . . . “
ada apa ini... ko tiba tibak pak mudir minta maaf? Pikiranku mencoba mengingat hal yang sesungguhnya ku tidak tahu, tidak jelas . . . dan pak mudir pun  melanjutkan pembicaraannya.
“kemarin semua berkas sudah kami kirim ke kementrian agama, alhamdulillah yang 8 masuk dan bisa ikut ujian besok. Tapi yang 2 orang yaitu Tamhid dan Vina tidak lolos dalam ujian pemberkasan, bapak sendiri tidak tau apa yang kurang, padahal kan semuanya sudah sama dan tidak ada yang beda. Tadi bapak sudah mencoba menelpon pihak sana dan katanya memang tidak lolos. Bapak harap kamu bisa terima dengan lapang dada, yakin saja mungkin Allah punya jalan lain untuk kamu”.
“iya pak . . . tidak apa-apa” ujarku.
setelah kembali berbasa-basi dengan pak mudir, aku pun pamit undur diri.
Perasaanku bercampur aduk. Antara aneh, kecewa, sedih semuanya menjadi satu. Bagaimana tidak, aku tidak lolos hanya dalam ujian pemberkasan yang padahal belum ujian yang sesunbgguhnya, serasa aku kalah sebelum berperang. Aku pun kembali ke kamar dan mencoba menenangkan hati. Mungkin ini juga ujian yang lain dari Allah untuk diriku. Sampai di kamar, teman-temanku menghampiri dan mencoba menghiburku. Aku pun hanya bisa memberi semangat kepada mereka yang akan ujian besok. Aku bilang pada mereka bahwa kesempatan itu akan terasa berharga saat kita kehilangannya. Aku hanya bisa memberi mereka semangat dan do’a. Setelah itu, aku pun menelpon kedua orang tuaku. Yang semula akan meminta do’a untuk ujianku besok, kini berubah bhawa aku minta dido’akan agar dilapangkan dada dan Allah memberiku jalan yang terbaik menurut-Nya. Ibuku pun menghiburku, lambat laun aku bisa tenang kembali. Sungguh ibu adalah penawar semua rasa sakitku saat orang lain sibuk dengan urusan merekka masing-masing.
.........
Subuh kembali datang. Shalat berjama’ah dan dzikir dipimpin oleh Buya. Namun sebelum dzikir, Buya menyampaikan sesuatu,
“Bagi para santri yang hendak mengikuti ujian beasiswa nanti siang, Buya persilahkan untuk bersiap-siap sekarang juga, tidak usah mengikuti acara ini, Buya do’akan semoga semuanya lancar dan sukses”.
pada saat itu aku sedang berada didekat gerbang keluar dari tempat kami sholat, karena memang itu adalah tugas keseharianku sebagai seorang Bagian Penegak Disiplin saat itu untuk selalu menjaga santri yang keluar masuk dan mengingatkan santri yang tidur saat acara bersama Buya. Maka satu-persatu temanku melewatiku dan manatapku. Aku hanya bisa tersenyum dan memberi mereka semangat. Hal yang tak aku sadari bahwa ternyata Buya memperhatikanku da ternyata Buya sudah mengetahui masalah yang aku hadapi. Seketika itu tiba-tiba Buya berkata,
“Kenapa harus ada yang tidak lulus ya . . . padahal smeuanya telah dipersiapkan berkasnya, semuanya sama. Selain itu, orang yang tidak lulus juga adalah orang yang baik, santri yang baik. Tapi mungkin Allah berencana lain untuk anak itu. Semoga semua santri selalu mendapat yang terbaik dari Allah.” Uar Buya menghibur kami yang tidak lulus saat pemberkasan. Setelah irsyadat Buya selesai, aku pun kembali dan melaksanakan aktifitas seperti biasanya.
Lima menit lagi masuk kelas, namun entah kenapa aku masih enggan beranjak. Bahkan aku belum mandi, aku masih terdiam sambil melamun. Hingga 30 menit masuk kelas aku masih saja melamun. Masyaallah . . . aku pun langsung menuju kamar mandi. Namun saat aku berada di kamar mandi, tiba tiba seseorang mengetuk pintu, dan ia berteriak,
“tamhid . . . tamhid . . .” ujarnya.
Akupun kaget. Suara ini tidak asing lagi bagiku, suara mulahidzul fashli (petugas absesnsi sekolah). Akupun menggerutu karena aku  bolos ketahuan. Namun ternyata dia melanjutkan,
“kamu ditunggu di ruang mudir, tadi ada telpon susulan dan ternyata kamu lulus. Sekarang cepat persipan dan 15 menit lagi harus berada di tempat ujian Kementrian Agama.”
Kali ini perasaanku lebih bercampur aduk dari sebelumnya. Akupun segera menyelesaikan mandi, bersiap-siap.
Sebelum aku pergi, Buya memangilku menuju rumah beliau. Disana Buya hanya berkata “Buya do’akan semoga kamu lulus, sekarang kamu berangkat, mudah mudahan masih sempat. Kalau ternyata tidak, percayalah masih banyak cara Allah untuk menyukseskanmu”. Akupun segera mencuim tangannya, semangatku kembali pulih, bahkan bertambah berlipat-lipat. Setelah itu aku berngakat. Dijalan, tak lupa ku telfon kedua orangtuaku. Beliau sempat terheran-heran, namun aku meyakinkan keduanya dan segera meminta do’a.
Sesampai di tempat ujian, tinggal aku dan Vina yang belum mengambil kartu perserta. Kami pun langsung menuju ruang masing-masing. Petugasnya sempat menegurku dan dengan singkat kuceritakan sebab keterlambatanku. Akupun masuk kedalam ruangan yang disana hanya satu bangku yang tersisa, dan itu tempatku.
Bismillah . . . ku awali ujianku. Kuselesaikan satu persatu dan kulewati yang memang tidak bisa ku selesaikan.
..........
Hari pengumuman pun tiba. Aku dan teman-teman segera menuju pusat koputer di pondok untuk mengakses situd resmi Kementrian Agama yang akan menampilkan para peserta yang lolos. Namun ternyata belum ada. Kami pun kembali mengeceknya besok hari, dan ternyata masih sama. Sampai beberapa hari setelah itu akupun kembali dipanggil ke ruang mudir. Disan pak mudir sudah menunggu. Saat aku memasuki ruangan, beliau langsung bertanya sesuatu yang aneh menurutku,
“kalau kamu lulus, mau ngasih apa sama bapak?” sambil tertawa beliau bertanya padaku.
“g tau pak . . .” jawabku sambil tertawa pula.
“selamat . . . ternyata kamu berhasil lolos beasiswa PBSB kemarin, dan kamu diterima di IAIN WALISONGO Semarang untuk Fakultas Syari’ah Program Studi Konsentrasi Ilmu Falak” ujarnya sambil memperlihatkanku daftar yang ada di situs Kemenag. Saat aku melihat satu-persatu. Kembali pak mudir bercanda yang awalnya aku anggap serius,
“liat tuh, masa kamu ada di urutan ke-49 dari 50 orang?”
setelah aku lihat, ternyata benar, aku berada di urutan itu. Aku pun malu sama beliau. Namun beliau kembali berucap,
“ko murung? Coba lihat dengan seksama, itu bukan urutan peringkat, tapi urutan berdasarkan abjad. Namamu memang urutannya disana” candanya sambil tertawa renyah.
Setelah berbasa basi aku pun kembali ke kamar dengan persaan bahagia penuh syukur. Aku segera memberitakannya pada kedua orang tuaku yang juga merasa sangat behagia. Namun kembali ada perasaan yang kurang enak di hatiku, karena yang lulus dari kami hanya kau seorang. Aku pun bergumam dalam hati,
“Jalan Allah memang tidak bisa ditebak-tebak . . . semua bisa berubah dengan kehendak-Nya . . . kita hanya bisa berusaha dan berdo’a . . . usaha tanpa do’a itu sombong, do’a tanpa usaha itu bohong”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar