Cari Blog Ini

Selasa, 16 April 2013

WAKTU SHOLAT PERSPEKTIF SYAR’I



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Shalat merupakan kewaiban utama bagi seorang muslim. Kedudukan shalat sebagai ibadah waib terdapat dalam nash (Al-Qur’an dan Hadis). Selain itu, Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa shalat ialah kewajiban yang pelaksanaannya dibagi kedalam beberapa waktu yang ditentukan. Terdapat banyak nash yang membahas tentang kewaiban serta waktu pelaksanaan shalat. Namun apabila kita menelitinya, tentu saja tidak bisa terlepas dari Hadis Rasulullah untuk menafsirkannya termasuk dalam penentuan shalat kedalam lima waktu yang sekarang kita ketahui yaitu shalat shubuh, dzuhur, ashar, magrib serta isya.
Beberapa ulama berpendapat sama dalam penafsiran hadis tentang penentuan waktu shalat yang dicontohkan oleh Rasulullah. Namun terdapat pula sebagian ulama yang berbeda pendapat tentang penafsiran untuk penentuan beberapa waktu shalat. Seperti contoh pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanafi tentang awal waktu shalat ashar serta shalat isya yang berbeda pendapat dalam penafsiran hadis Rasulullah SAW. Yang insyaallah akan menjadi bagian dari pembahasan penulis dalam makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Shalat dan Dasar Hukumnya
Kata salat (الصلاة) menururt bahasa berasal dari kata (صلا, يصلى, صلاة) yang mempunyai arti do’a[1]. Begitu juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[2] bahwa salat mempunyai arti do’a kepada Allah swt. Adapun menurut istilah, salat merupakan suatu ibadah kepada Allah swt yang berupa perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.[3]
Salat diwajibkan kepada umat Islam pada malam hari ketika Rasulullah melakukan isra’ mi’raj, yaitu lebih kurang satu tahun sebelum hijrah. Adapun menurut ulama mazhab Hanafi, kewajiban salat itu ditetapkan pada malam hari ketika Nabi Muhammad saw malakukan isra’, yaitu malam Jum’at pada tanggal 10 Ramadan, satu setengah tahun setelah hijrah. Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa tanggalnya adalah 27 Rajab, satu setengah tahun sebelum Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah.[4]
Salat mengandung berbagai hikmah bagi kehidupan. Segi keagamaan misalnya, salat merupakan tali yang menghubungkan dan mengikat seorang hamba dengan Penciptanya. Melalui salat, seorang hamba dapat mengagungkan kebesaran Allah swt, mendekatkan diri, berserah diri kepada-Nya, dan menimbulkan rasa tenteram bagi diri orang yang salat dalam menempuh berbagai persoalan hidup. Melalui salat seorang hamba mendapatkan ampunan dosa dan meraih kemenangan.[5]
Hikmah salat yang lain adalah adanya ketenangan dalam hati dan tidak akan merasa gelisah ketika terkena musibah. Kegelisahan dapat meniadakan kesabaran yang mana merupakan sebab utama kebahagiaan. Kebaikanpun tak akan tercegah pada orang yang senantiasa melakukannya.[6]
Oleh karena itu, salat merupakan ibadah utama dalam Islam. Salat disyariatkan dalam rangka bersyukur atas seluruh nikmat Allah yang telah diberikan kepada manusia, dan salat menjadi salah satu rukun Islam yang harus ditegakkan, sesuai dengan waktu-waktunya, kecuali ketika dalam keadaan tertentu.
Salat mempunyai dasar hukum yang kuat dalam nas (al-Qur’an dan hadis), karena salat sebagai salah satu rukun Islam dan dasar yang kokoh untuk tegaknya agama Islam. Salat juga mempunyai waktu-waktu tertentu yang seseorang wajib mengerjakannya, sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam al-Qur’an.
Adapun dasar hukum penentuan waktu salat baik dalam al-Qur’an maupun Hadis antara lain :
a.       Al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 103

إنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً

Artinya : “Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”[7] (QS. An-Nisa’ (4) : 103).
Ayat tersebut menjelaskan adanya waktu dalam menentukan suatu pekerjaan yang apabila datang waktunya maka harus melaksanakannya, yakni sesungguhnya salat itu merupakan hukum Allah swt yang wajib dilakukan dalam waktu-waktu tertentu dan harus dilaksanakan di dalam waktu-waktu yang sudah ditentukan tersebut. Melaksanakan salat pada waktunya, meskipun dengan diqasar tetapi syaratnya terpenuhi adalah lebih baik daripada mengakhirkan agar dapat melaksanakan salat dengan sempurna.[8]
b.      Al-Qur’an surat al-Isra’ (17) ayat 78

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَان مَشْهُوداً

Artinya : “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.[9] (QS. Al-Isra’ (17) : 78).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan salat lima waktu wajib dalam sehari semalam, sedangkan ketika itu penyampaian Nabi saw baru bersifat lisan dan waktu-waktu pelaksanaannya pun belum tercantum dalam al-Qur’an, hingga akhirnya turunlah ayat tersebut.[10]
Adapun ayat yang tegas mengenai salat lima waktu adalah sebagaimana firman Allah swt :
فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ (۱۷) وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَعَشِيّاً وَحِينَ تُظْهِرُونَ (۱۸) (سورةالروم ۱۷ -۱۸)
Artinya : ”Maka bertasbihlah kepada Allah swt di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di pagi hari (waktu Subuh). Dan segala puji bagi-Nya baik di langit, di bumi, pada malam hari dan pada waktu Zuhur (tengah hari).”[11] (Ar-Rum: 17-18)
c.       Hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a. :
ﻋﻦ ﺠﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺑﺪ ﺍﻟﻟﻪ ﺮﺿﻰ ﺍﻠﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻘﺎﻞ ﺍﻥ ﺍﻟﻨﺑﻰ ﺼﻠﻌﻡ ﺠﺎﺀﻩ ﺠﺑﺮﻴﻝ ﻋﻟﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻢ ﻔﻘﺎﻞ ﻟﻪ ﻘﻢ ﻔﺻﻟﻪ ﻔﺼﻟﻰ ﺍﻟﻇﻬﺭ ﺤﺗﻰ ﺰﺍﻠﺖ ﺍﻟﺷﻤﺱ ﺛﻡ ﺠﺎﺀﻩ ﺍﻟﻌﺼﺮ ﻔﻘﺎﻞ ﻘﻡ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺼﻟﻰ ﺍﻠﻌﺼﺮ ﺤﻴﻥ ﺼﺎﺭ ﻆﻞ ﻜﻞ ﺷﻴﺊ ﻤﺜﻟﻪ ﺛﻡ ﺠﺎﺀﻩ ﺍﻠﻤﻐﺮﺏ ﻔﻘﺎﻞ ﻘﻡ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺼﻠﻰ ﺍﻠﻤﻐﺮﺏ ﺤﻴﻥ ﻭﺟﺑﺕ ﺍﻠﺸﻤﺲ ﺜﻡ ﺟﺎﺀﻩ ﺍﻠﻌﺸﺎﺀ ﻔﻘﺎﻞ ﻘﻡ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺼﻠﻰ ﺍﻠﻌﺸﺎﺀ ﺤﻴﻦ ﻏﺎﺏ ﺍﻠﺷﻔﻕ ﺜﻢ ﺠﺎﺀﻩ ﺍﻠﻔﺠﺮ ﻔﻘﺎﻞ ﻘﻢ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺻﻟﻰ ﺍﻠﻔﺟﺮ ﺤﻴﻥ ﺑﺮﻕ ﺍﻠﻔﺠﺮ ﻮﻗﺎﻞ ﺴﻄﻊ ﺍﻠﺑﺤﺭ ﺜﻢ ﺟﺎﺀﻩ ﺑﻌﺪ ﺍﻠﻐﺪ ﺍﻠﻆﻬﺭ ﻔﻘﺍﻞ ﻗﻡ ﻔﺼﻟﻪ ﻔﺼﻟﻰ ﺍﻠﻈﻬﺮ ﺤﻴﻥ ﺼﺍﺭ ﻅﻝ ﻜﻝ ﺷﻴﺊ ﻤﺜﻠﻪ ﺜﻢ ﺠﺎﺀﻩ ﺍﻠﻌﺼﺭ ﻔﻗﺎﻞ ﻘﻢ ﻔﺻﻟﻪ ﻔﺻﻟﻰ ﺍﻠﻌﺼﺮ ﺤﻴﻥ ﺼﺎﺭ ﻆﻞ ﻜﻝ ﺸﻴﺊ ﻤﺛﻟﻪ ﺜﻢ ﺟﺎﺀﻩ ﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭﻘﺗﺎ ﻮﺍﺤﺩﺍ ﻠﻡ ﻴﺰﻞ ﻋﻨﻪ ﺜﻢ ﺟﺎﺀﻩ ﺍﻠﻌﺸﺎﺀ ﺤﻴﻥ ﺬﻫﺐ ﻨﺼﻑ ﺍﻠﻠﻴﻝ ﺍﻮﻗﺎﻞ ﺜﻠﺚ ﺍﻠﻟﻴﻝ ﻔﺼﻠﻰ ﺍﻠﻌﺷﺎﺀ ﺤﻴﻦ ﺟﺎﺀﻩ ﺣﻳﻥ ﺍﺴﻔﺮ ﺠﺪﺍ ﻔﻘﺍﻞ ﻗﻡ ﻔﺼﻠﻪ ﻔﺼﻟﻰ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺜﻡ ﻘﺎﻞ ﻤﺎ ﺑﻴﻥ ﻫﺬﻴﻥ ﺍﻟﻮﻗﺘﻴﻥ ﻭﻘﺖ ) [12].ﺮﻭﺍﻩ ﺍﺤﻤﺪ ﻮﺍﻠﻨﺴﺎﺉ ﻮﺍﻟﺘﺭﻤﺬﻱ ﻴﻧﺤﻮﻩ (
Artinya : “Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata  telah datang kepada Nabi saw, Jibril a.s lalu berkata kepadanya ; bangunlah! lalu salatlah, kemudian Nabi saw salat Zuhur di kala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kapadanya di waktu Asar lalu berkata : bangunlah lalu salatlah!. Kemudian Nabi saw salat Asar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Magrib lalu berkata : bangunlah lalu salatlah, kemudian Nabi saw salat Magrib di kala matahari terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Isya lalu berkata : bangunlah dan salatlah! Kemudian Nabi salat Isya di kala matahari telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata : bangunlah dan salatlah! kemudian Nabi saw salat fajar di kala fajar menyingsing. Ia berkat : di waktu fajar bersinar. Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Zuhur, kemudian berkata kepadanya : bangunlah lalu salatlah, kemudian Nabi saw salat Zuhur di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu Asar dan ia berkata : bangunlah dan salatlah! kemudian Nabi saw salat Asar di kala bayang-bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kapadanya di waktu Magrib dalam waktu yang sama, tidak bergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Isya di kala telah lalu separuh malam, atau ia berkata : telah hilang sepertiga malam, Kemudian Nabi saw salat Isya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar dan ia berkata ; bangunlah lalu salatlah, kemudian Nabi salat fajar. Kemudian Jibril berkata : saat dua waktu itu adalah waktu salat.” (HR. Imam Ahmad, Nasa’i dan Thirmizi).
Hadis tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya salat itu mempunyai dua waktu, kecuali waktu Magrib. Salat tersebut mempunyai waktu-waktu tertentu. Adapun permulaan waktu salat Zuhur adalah tergelincirnya matahari, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Sedang akhir waktu salat Zuhur adalah ketika bayang tiap-tiap benda sama dengan panjang benda tersebut. [13]
d.      Hadis Nabi saw yang diriwayatkan Abdullah bin Amr r.a.
ﻋﻦ ﻋﺑﺩ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻣﺮ ﺮﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻦ ﺍﻟﻧﺑﻰ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭﺴﻟﻡ ﻗﺎﻝ ﻮﻗﺖ ﺍﻟﻅﻬﺮ ﺍﺫﺍ ﺯﺍﻟﺖ ﺍﻟﺷﻤﺱ ﻮﻜﺎﻦ ﻈﻞ ﻜﻝ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻜﻄﻮﻟﻪ ﻤﺎﻟﻡ ﻳﺤﺿﺮ ﺍﻟﻌﺼﺭ ﻮﻮﻗﺖ ﺍﻟﻌﺼﺭ ﻤﺎﻟﻡ ﺘﺻﻔﺮ ﺍﻟﺷﻤﺱ ﻮﻮﻗﺖ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﻤﺎﻟﻡ ﻴﻐﺏ ﺍﻟﺸﻔﻖ ﻮﻮﻗﺖ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﺷﺎﺀ ﺍﻠﻰ ﻨﺻﻒ ﺍﻟﻳﻝ ﺍﻻﻭﺴﻁ ﻭﻭﻗﺖ ﺼﻼﺓ ﺍﻟﺻﺑﺢ ﻣﻦ ﻁﻠﻮﻉ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻤﺎﻟﻡ ﺘﻁﻟﻊﺍﻟﺷﻣﺱ.[14]
Artinya : “Dari Abdullah bin Amr r.a. berkata : Sabda Rasulullah saw ;  waktu Zuhur apabila matahari tergelincir, sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya, yaitu selama belum datang waktu Asar. Dan waktu Asar sebelum matahari belum menguning. Dan waktu Magrib selama syafaq (mega merah) belum terbenam. Dan waktu Isya sampai tengah malam yang pertengahan. Dan waktu Subuh mulai fajar menyingsing sampai selama matahari belum terbit. (HR Muslim).
Maksud kalimat (ﺯﺍﻟﺖ ﺍﻟﺷﻤﺱ) ”matahari tergelincir” adalah tergelincirnya matahari ke arah barat yaitu tergelincirnya matahari sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah dengan firman-Nya (dalam Surat Al-Isra’ ayat 78), suatu perintah untuk melaksanakan salat setelah tergelincirnya matahari -hingga bayang-bayang orang setinggi badannya- yakni waktunya berlangsung hingga bayang-bayang segala sesuatu seperti panjang sesuatu itu. Inilah batasan bagi permulaan waktu Zuhur dan akhir waktunya. Sedangkan mulai masuk waktu Asar adalah dengan terjadinya bayangan tiap-tiap sesuatu itu dua kali dengan panjang sesuatu itu. Waktu salat Asar berlangsung hingga sebelum menguningnya matahari. Adapun waktu salat Magrib, mulai dari masuknya bundaran matahari selama Syafaq (mega merah) belum terbenam. Adapun waktu Isya berlangsung hingga tengah malam. Sedangkan waktu salat Subuh, awal waktunya mulai dari terbit fajar sadiq dan berlangsung hingga sebelum terbit matahari.[15]

B.     Waktu Shalat Perspektif Syar’i
Pada dasarnya, banyak hadis yang memperjelas waktu shalat yang telah disebutkan dalam Al-qur’an, namun penulis di sini hanya memngambil dua hadis yang menurut penulis jelas penggambarannya mengenai waktu shalat. Sebagaimana hadis riwayat Jabir bin Abdulla r.a. telah memberi gambaran kelima waktu shalat secara lebih jelas dengan posisi-posisi matahari yang menjadi patokan waktu. Matahari tidak hanya berfungsi menghangatkan biosfer bumi dengan cahayanya, namun dengan bayang-bayang benda atau tongkat istiwa matahari dapat berperan untuk mengatur ritme kewajiban dzikir manusia kepada Tuhannya. Dari kelima waktu shalat menggunakan matahari sebagai patokan dalam perhitungannya. Dalam penentuan waktu shalat, posisi matahari dalam koordinat horizon sangat diperlukan, terutama ketinggian atau jarak zenith.
1.    Shalat Dzuhur
….قم فصله فصلى الظهر حين زالت الشمس ….
(kemudian Nabi shalat Dzuhur ketika matahari tergelincir)

….فصلى الظهر حين صار ظل كل شئ مثله ....
(kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala bayang-bayang suatu benda sama dengan aslinya).

ﻮﻗﺖ ﺍﻟﻅﻬﺮ ﺍﺫﺍ ﺯﺍﻟﺖ ﺍﻟﺷﻤﺱ ﻮﻜﺎﻦ ﻈﻞ ﻜﻝ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻜﻄﻮﻟﻪ ﻤﺎﻟﻡ ﻳﺤﺿﺮ ﺍﻟﻌﺼﺭ
(waktu Dzuhur apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya yaitu selama belum datang waktu Ashar)

Para ahli fiqh memulai dengan shalat Dzuhur, karena ia merupakan shalat pertama yang diperintahkan (difardhukan). Kemudian setelah itu difardhukan shalat Ashar, kemudian Maghrib, lalu Isya’, kemudian shalat Subuh secara tartib. Kelima shalat tersebut diwajibkannya di Makkah pada malam isra’ setelah 9 tahun dari di utusnya Rasulullah. Hal demikian berdasarkan firman Allah surat Al-Isra’ ayat 78.[16]
Pada hadis pertama yang diriwayatkan oleh Jabir, disebutkan bahwa Jibril datang menyuruh Nabi shalat dzuhur pada hari pertama setelah tergelincir matahari, dan datang lagi diwaktu Ashar saat bayangan benda sama dengan benda tersebut. Pada hari kedua, Jibril datang menyuruh shalat Dzuhur pada waktu bayangan benda sama dengan benda itu sendiri, tepat pada waktu melakukan shalat Ashar pada hari pertama.[17]
Sedangkan pada hadis kedua dijelaskan bahwa waktu Dzuhur ialah bila matahari sudah tergelincir; atau oleh ulama lain diartikan condong ke Barat; hingga bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya atau saat bayang-bayang suatu benda sama panjangnya dengan benda tersebut. Kata “ka-na” diathafkan terhadap kata “za-lat”, yang maksudnya waktu Dzuhur itu tetap berlangsung hingga terjadi bayangan orang sama dengan tinggi badannya, selama belum masuk waktu Ashar. Inilah batasan bagi permulaan dan akhir waktu Dzuhur.[18]
Dalam hal ini, para ulama’ sependapat bahwa penentuan awal waktu Dzuhur, adalah pada saat tergelincirnya matahari. Sementara dalam menentukan akhir waktu Dzuhur, ada beberapa pendapat yaitu sampai panjang bayang-bayang sebuah benda sama dengan panjang bendanya (menurut Imam Malik, Syafi’I, Abu Tsaur dan Daud). Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah ketika bayang-bayang benda sama dengan dua kali bendanya.[19]
2.    Shalat Ashar
 ….فصلى العصر حين صار ظل كل شيئ مثله     .
(kemudian Nabi shalat Ashar ketika bayag-bayang suatu benda sama dengan aslinya)

 ….فصلى العصر حين صار ظل كل شئ مثله   ….
(kemudian Nabi shalat Ashar ketika bayang-bayang suatu benda dua kali dari aslinya)

 ….ﻮﻮﻗﺖ ﺍﻟﻌﺼﺭ ﻤﺎﻟﻡ ﺘﺻﻔﺮ ﺍﻟﺷﻤﺱ ….
(dan waktu Ashar selama matahari belum menguning)
Meskipun secara garis besar dapat dikatakan bahwa awal waktu Ashar adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, tapi hal ini masih menimbulkan beberapa penafsiran. Dalam hadis riwayat Jabir bin Abdullah r.a Nabi Saw diajak shalat Ashar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak pada saat panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya.[20]
Menurut Imam Malik akhir waktu Dzuhur adalah waktu musyatarok (waktu untuk dua shalat), Imam Syafi’i, Abu Tsaur dan Daud berpendapat akhir waktu Dzuhur adalah masuk waktu Ashar; yaitu ketika panjang bayang-bayang suatu benda melebihi panjang benda sebenarnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa awal waktu Ashar ketika bayang-bayang  sesuatu sama dengan dua kali bendanya.[21]
Dan dalam penetapan akhir waktu shalat Ashar juga ada perbedaan antara hadits Imamatu Jibril dengan hadits Abdillah, yaitu yang pertama dalam hadits Imamatu Jibril sesungguhnya akhir waktu Ashar itu adalah ketika benda itu sama dengan dua kali bayang-bayangnya (pendapat Imam Syafi’i)[22], dalam hadits Abdillah sebelum menguningnya matahari (pendapat Imam Ahmad bin Hambal), dan dalam hadist Abu Hurairah akhir waktu Ashar sebelum terbenamnya matahari kira-kira satu raka’at (pendapat Ahli Dhahir).[23]
Kedua waktu masuknya waktu Ashar ini dimungkinkan karena fenomena seperti itu tidak dapat digeneralisasi akibat bergantung pada musim atau posisi tahunan matahari. Pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada waktu Dzuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu lebih panjang dari pada tongkatnya.
Sementara pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada waktu Dzuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di beberapa negara Eropa) dianalisir sebagai solusi yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin.[24] Untuk masyarakat Indonesia sendiri, digunakan pendapat yang pertama, yaitu masuknya waktu Ashar adalah saat bayang-bayang seseorang atau suatu benda sama dengan seseorang atau benda tersebut.
3.    Shalat Maghrib
 ….فصلى المغرب حين وجبت الشمس ….
(Nabi shalat Magrib ketika matahari terbenam)

 ….مثله ثم جاءه المغرب وقتا واحدا لم يزل عنه.
(kemudian datang lagi kepada-Nya diwaktu Magrib dalam waktu yang sama tidak bergeser dari waktu yang sudah)

….ﻮﻮﻗﺖ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﻤﺎﻟﻡ ﻴﻐﺏ ﺍﻟﺸﻔﻖ…. 
(dan waktu magrib selama syafaq belum terbenam)

Dari kedua hadis, ada kesepakatan bahwa awal waktu Maghrib adalah ketika matahari terbenam. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang akhir waktu shalat Maghrib. Imam Hanafi, Hambali, dan Syafi’i, berpendapat bahwa waktu Maghrib adalah antara tenggelamnya matahari sampai tenggelamnya mega atau sampai hilangnya cahaya merah di arah barat.[25]
Sedangkan Imam Maliki berpendapat, sesungguhnya waktu Maghrib sempit, ia hanya khusus dari awal tenggelamnya matahari sampai di perkirakan dapat melaksanakan shalat Maghrib itu, yang termasuk di dalamnya, cukup untuk bersuci dan adzan dan tidak boleh mengakhirkanya (mengundurnya) dari waktu ini, ini hanya pendapat Maliki saja.[26]
4.    Shalat Isya’
.فصلى العشاء حين غاب الشفق ….
(kemudian Nabi shalat Isya’ ketika mega merah telah terbenam)

... جاءه العشاء حين ذهب نصف الليل اوقال ثلث الليل فقال قم فصله فصلى العشاء   ...
(kemudian datang lagi kepadanya di waktu Isya dikala telah lewat separuh malam atau ia berkata telah hilang sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya’)

….ﻮﻮﻗﺖ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﺷﺎﺀ ﺍﻠﻰ ﻨﺻﻒ ﺍﻟﻳﻝ ﺍﻻﻭﺴﻁ  ….
(dan waktu Isya’ sampai pertengahan malam)

Permulaan waktu Isya’ dari keterangan hadis tersebut dapat diketahui bahwa pada saat hilangnya mega merah dan berlangsung hingga tengah malam. Namun, dari kedua hadis tersebut, hadis kedua menyebutkan bahwa batas waktu Isya’ hingga tengah malam. Sedangkan pada hadis pertama, disebutkan bahwa Jibril baru datang ;dihari kedua; ketika telah lewat separuh malam atau sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya’. Dari situ, ada tiga pendapat untuk batas waktu Isya’, yang pertama sampai sepertiga malam (menurut Syafi’i dan Abu Hanifah), kedua sampai separoh malam (menurut Imam Malik), dan terakhir sampai terbit fajar (menurut imam Daud).[27]
Imam Syafi’i dan mayoritas ulama berpendapat bahwa awal waktu isya ialah keika hilangnya mega merah, sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa awal waktu isya ialah ketika munculnya mega hitam atau disaat langit benar-benar telah gelap.
 Di Indonesia, para ulama sepakat bahwa waktu Isya’ ditandai dengan mulai memudarnya mega merah (asy-Syafaq al-Ahmar) di bagian langit sebelah barat, yaitu tanda masuknya gelap malam. Peristiwa ini dalam falak ilmiy dikenal sebagai akhir senja astronomi (astronomical twilight).[28]
5.    Shalat Subuh
….فصلى الفجر حين برق الفجر الفجر او قال سطع البحر  .
(lalu Nabi shalat Fajar dikala fajar menyingsing atau ia berkata diwaktu fajar bersinar)

.جاءه حين اسفر جدا فقال قم فصله فصلى الفجر….
(kemudian ia datang lagi kepada-Nya dikala telah bercahaya benar dan ia berkata: bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat Fajar)

….ﻭﻭﻗﺖ ﺼﻼﺓ ﺍﻟﺻﺑﺢ ﻣﻦ ﻁﻠﻮﻉ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻤﺎﻟﻡ ﺘﻁﻟﻊﺍﻟﺷﻣﺱ  ….
(dan waktu Subuh mulai fajar menyingsiang sampai matahari belum terbit)

Kedua hadis telah jelas menyebutkan bahwa waktu Subuh adalah waktu mulai terbitnya fajar shadiq dan berlangsung hingga terbitnya matahari. Para ahli fiqh sepakat dengan pendapat tersebut, meskipun ada beberapa ahli fiqh Syafi’iyah yang menyimpulkan bahwa batas akhir waktu Subuh adalah sampai tampaknya sinar matahari.[29]
Fajar shadiq[30]  dapat dipahami sebagai dawn astronomical twilight (fajar astronomi), yaitu ketika langit tidak lagi gelap dimana atmosfer bumi mampu membiaskan cahaya matahari dari bawah ufuk. Cahaya ini mulai muncul di ufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada sekitar 18° di bawah ufuk (atau jarak zenit matahari=108° derajat). Pendapat lain menyatakan bahwa terbitnya fajar sidik dimulai pada saat posisi matahari 20° derajat di bawah ufuk atau jarak zenit matahari adalah 110° (90° + 20°).[31]
Di Indonesia pada umumnya, Subuh dimulai pada saat kedudukan matahari 20° derajat di bawah ufuk hakiki (true horizon). Hal ini bisa dilihat misalnya pendapat ahli falak terkemuka Indonesia, yaitu Saadoe’ddin Djambek disebut-sebut oleh banyak kalangan sebagai mujaddid al-hisab (pembaharu pemikiran hisab) di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa waktu Subuh dimulai dengan tampaknya fajar di bawah ufuk sebelah timur dan berakhir dengan terbitnya matahari. Menurutnya dalam ilmu falak saat tampaknya fajar didefinisikan dengan posisi matahari sebesar 20° dibawah ufuk sebelah timur.[32] Sementara itu batas akhir waktu Subuh adalah waktu Syuruq (terbit), yaitu  -1°.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian makalah di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain :
1.      Dasar hukum penentuan awal waktu sholat terdiri dari 2 macam dalil. Pertama dalil naqly yang mencakup ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi. Kedua dalil aqly yang terdiri dari kaidah fiqhiyyah dan perkembangan ilmu astronomi secara umum, khususnya ilmu falak.
2.      Dalam memahami beberapa hadits Nabi yang berkaitan dengan waktu sholat, ulama’ mempunyai pendapat masing-masing. Akan tetapi perbedaan mencolok terjadi pada penetuan awal waktu sholat ashar dan isya’ menurut imam syafi’I dan hanafi yang telah dijelaskan dalam makalah diatas dimana Imam Syafi’i berpendapat bahwa alawa waktu ashar ialah disaat panjang bayangan benda adlah satu kali panjang benda tersebut ditambah dengan bayangan waktu dzuhur sedangakan Imam hanafi berpendapat bahwa awal waktu Ashar adalah disaat panjang suatu benda ialah dua kali panjang benda tersebut. Selain itu uga pada penentuan awal waktu isya, diamana Imam Syafi’i berpendapat bahwa awal waktu isya ialah di saat hilangnya mega merah di langit sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa awal waktu isya dimulai ketika munculnya mega hitam.
Penutup
Dengan rahmat Allah SWT penulis mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan rahmat-nya, sehingga makalah komprehensif ini bisa selesai. Penulis berharap agar makalah komprehensif ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembaca khususnya bagi penulis.
Saran dan masukan yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan guna melengkapi dan menyempurnakan makalah ini.







[1] Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, Surabaya : Pustaka Progressif, 1997, hlm. 792.
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, cet I, edisi keempat, 2008, hlm. 1208.
[3] Syams Al-Din Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Al-Syarbiny, Mugni Al-Mukhtaj ila Ma’rigati Ma’ani Alfad Al-Minhaj, Baerut – Libanon : Dar al-Kutub al-Alamiah, juz 1, hlm. 297.
[4] Abdul Aziz Dahlan, at al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, cet 1, 1996, hlm. 1536.
[5] Ibid.
[6] Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Beirut – Libanon : Dar al-Fikr, juz 1, hlm. 71.
[7] Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 125.
[8] Ahmad Mushthafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi,  Beirut – Libanon : Dar al-Fikr, jilid 1V, hlm. 143-144.
[9] Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 395.
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, Cet 1, Vol 8, 2002, hlm. 525.
[11] Maksud bertasbih dalam ayat 17 ialah salat. Ayat 17 dan 18 tersebut menerangkan tentang waktu salat yang lima. Baca Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 572.
[12] Al-Hafiz Jalal al-Din al-Suyuthi, Sunan al-Nisa’i, Beirut – Libanon : Dar al-Kutub al-Alamiah, hlm. 263.
[13] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukany, Nail al-Authar min Asrar Muntaqa al-Akhbar, Beirut - Libanon : Dar al-Kutub al-Araby, Jilid I, hlm. 438.
[14] Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy, Shahih Muslim, Beirut – Libanon : Dar al-Kutub al-Alamiah, hlm. 427.
[15] Sayyid al-Imam Muhammad bin Ismail al-Kakhlany, Subul al-Salam, Semarang : Thaha Putra, t.th, hlm. 106.
[16] Muhammad Jawa Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab, Diterjemahkan oleh Masykur dkk dari Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta : Lentera, cet VI, 2007, hlm 74. Peristiwa isra‘ mi’raj disebutkan dalam surat Al-Isra‘ ayat 1 dan terdapat penjelasan mengenai bertemunya Rasulullah dengan Jibril dalam bentuk aslinya dan kebesaran-kebesaran Allah yang disebutkan dalam surat An-Najm ayat 5-18. Sedangkan turunnya perintah shalat 5 waktu didapatkan dari Hadis riwayat Bukhari yang diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dari hadis tersebut dikabarkan bahwa Rssul saat mi’raj bertemu dengan dengan para nabi terdahulu dan turun perintah shalat 50 waktu dalam sehari-semalam. Dalam perjalanan kembali, Rasul bertemu dengan Nabi Musa yang selanjutnya memberi nasehat untuk meminta keringanan atas perintah shalat yang diterima Rasul, karena umat Rasul dinilai tidak akan sanggup mengerjakannya sebagaimana Nabi Musa mencobakannya pada umat dari Bani Israil terdahulu. Oleh karena itu diceritakan bahwa Rasul meminta keringanan beberapa kali kepada Allah sehingga perintah shalat menjadi 5 waktu dalam sehari-semalam. Sebenarnya Nabi Musa masih menyarankan agar Rasul meminta keringan lagi, namun Rasul menolak dan berkata,“Aku telah meminta terlalu banyak dari Tuhanku dan itu membuatku malu. Tapi aku rasa sekarang aku gembira dan berserah diri kepada perintah Allah.“ Dan ketika Rasul pergi, beliau mendengar suara berkata “Aku telah memberikan perintahKu dan telah mengurangi beban para hambaKu“. Selengkapnya lihat pada Hadis riwayat Bukhari no. 349 dalam Al JamiShahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, hlm. 382. Hadis ini dinalai shahih dengan sanad Yahya bin Abu Bukair, Lais bin Su’dan, Yunus, dan Muslim bin Abdullah bin Syihab yang dianggap muttasil dan dikenal sebagai perawi-perawi yang dapat dipercaya. Lihat pada Syekh Syihabuddin Abi al Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Tahdzib al Tahdzib, Beirut: Dar Al Kitab Al Islami, 852 H, hlm. 178-445. Dan juga lihat pada Syekh Islam Abi Muhammad Abd Rahman bin Abi Hatim Muhammad, Al Jarah wa Ta’dil, Beirut: Dar Al Kutub, 1373 H, hlm. 247, serta lihat pula Imam Hafiz Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz Dzahbi, Mizan Al I’tidal, Beirut: Dar Al Kutub Al Islamiyah, tt, hlm. 515.
[17] Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam, Surabaya: Al-Ikhlas, hlm. 306
[18]  Ibid, hlm.  305
[19] Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujatahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, di terjemahkan oleh Imam Ghazali dkk, dari  Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Jakarta : Pustaka Amani, 2007, hlm. 66
[20] Muhammad Jawa Mughniyyah, op cit, hlm. 74
[21]Lihat pada Syamsudin Sarakhsi, Kitab Al-Mabsuth Juz 1-2,  Beirut Libanon : Darul Kitab Al-Ilmiyah, hlm 143. Dalam kitab ini disebutkan bahwa,
وروي عن الحسن ابى حنيفه رحمهما الله تعالى انه اذا صار الظل قامة يخرج وقت الظهر ولا يد خل وقت العصر حتى يصير الظل قامتين
[22] Menurut Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm, waktu Ashar dalam musim panas yaitu ketika bayangan benda sama dengan bendanya atau satu kali bayangan benda sampai ketika habisnya waktu Dzuhur Awal waktu Ashar adalah bila bayang-bayang tongkat panjangnya sama dengan panjang bayangan waktu tengah hari ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya. Lihat pada Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Asy-Syafi’i, Al-Umm, Beirut-Libanon : Dar Al-Kitab, Juz I, tt, hlm 153.
[23]Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit, hlm. 205.
[24] Departemen Agama RI, op cit, (Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa), hlm 29. Sedangkan Saadoe’ddin Djambek dalam pendapatnya menyatakan bahwa di antara dua pendapat antara Imam Hanafi dan Syafi’i yang dijadikan landasan dalam penentuan awal waktu salat Ashar adalah pendapat Imam Hanafi dengan alasan pendapat Imam Hanafi juga mempertimbangkan daerah-daerah kutub, dimana matahari pada awal Dzuhur tidak begitu tinggi kedudukannya di langit dan dalam keadaan demikian bayang-bayang memanjang lebih cepat dari pada ketika matahari pada tengah hari berkedudukan tinggi di langit seperti di negeri kita. Jika kita menggunakan pendapat Syafi’i sebagai syarat masuknya awal waktu Ashar maka masuknya waktu Asar akan lebih cepat dan akibatnya waktu Dzuhur menjadi terlalu pendek dan waktu Asar akan terlau panjang. Selengkapnya baca Wahbah az-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, cet. II Beirut : Dar al-Fikr, 1989, I : 509. Baca juga Hasbi ash-Shiddiqie. Pedoman Salat, cet. X , Jakarta : Bulan Bintang, 1978, hlm. 128. Perhatikan pula Saadoe'ddin Jambek, Salat dan Puasa di daerah Kutub, cet. I, Jakarta : Bulan Bintang, 1974, hlm 9.
[25] Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit, hlm. 206
[26] Muhammad Jawa Mughniyyah, op cit, hlm.75. Untuk akhir waktu Maghrib, ada riwayat mengatakan pada hilangnya mega merah (Asy Syafaq Al Ahmar) menurut Qoul Jadid yang sependapat dengan Abu Ishaq, Ats Tsaury, Abu Tsaur, Ashab Ar Ra’yi dan sebagian Ashab Asy Syafi’i. Dan ada juga riwayat yang mengatakan bahwa waktu Maghrib hanya seukuran Wudhu, adzan, iqamat, shalat Maghrib, dzikir dan shalat sunnah dua raka’at. Pendapat kedua ini menurut Qaul Qadim Imam Syafi’i.
[27] Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit, hlm. 210. Pendapat pertama bahwa akhir waktu Isya‘ adalah pada pertengahan malam dilansir oleh Ats Tsaury, Ashab ar Ra’yi (ulama yang condong pada akal dalam proses ijtihadnya), Ibnu Al Mubarak, Ishaq bin Rawaih dan Abu Hanifah. Sedangkan akhir waktu Isya‘ ialah sepertiga malam seperti yang dilansir oleh Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Umar bin Abdul Aziz dan Asy Syafi’i (pada salah satu riwayat dari Ishaq bin Ibrahim dari Jarir dari Manshur). Untuk akhir waktu Isya‘ saat terbitnya fajar sebagaimana dilansir oleh Asy Syafi’i (pada riwayat lain), Abdullah bin Abbas, Atha‘, Thawus, Ikrimah dan Ahlu Ar Rifahiyyah. Selengkapnya lihat pada Sa’id bin Muhammad Ba’asyun, Busyr Al Karim Syarh Al Muqadimah Al Hadhramiyah, Beirut: Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah, tt, hlm. 56
[28] There is one phenomenon that lengthens the fraction of the day given over to daylight. Even after the sun has set, some sunlight is received by the observer, scattered and reflected by the earth’s asmosphere. As the sun sinks further below the horizon, the intensity of this light diminishes.  The phenomenon is called twilight and is classified as civil, nautical or astronomical twilight. Civil twilight is said to end when the sun’s centre is 6° below horizon, nautical twilight ends when centre 12° below the horizon, while astronomical twilight ands when the centre of the sun’s is 18° below the horizon. Twilight is a nuisance, astronomically speaking, often preventing the observation of very faint celestial objects. We shall see below that in some latitudes during part of the year, twilight is indeed continuous throughtout the night, evening and morning twilight merging because the sun’s centre at all times of the night is less than 18° below the horizon. Lihat A. E. Roy, D. Clarke, Astronomy Principles and Practise, published by Adam Hilger, Bristol: Techno House, 1936,, hlm. 83.
[29] Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit, hlm. 213
[30] Fajar shidiq disebabkan oleh hamburan cahaya matahari di atmosfer atas. Berbeda dengan fajar kidzib (cahaya zodiak), yang disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antarplanet.
[31] Abd Rachim, op cit, hlm.39
[32] Saadoe’ddin Djambek, op cit, hlm. 45. Untuk h matahari saat terbitnya fajar shadiq dan fajar kidzib sendiri terdapat perbedaan dari beberapa kalangan ahli falak dan ahli astronomi. Abu Raihan Al Biruni berpendapat h matahari untuk waktu Subuh adalah sekitar -15° hingga -18°. Dalam Al-khulashatul Wafiyah fil falaki Jadawidil Lughritimiyah (Zubair umar al-jaelani) hlm. 176, dan Ilmu Falak  (Kosmografi) (P. Sima-Mora) hlm.82 disebutkan bahwa h matahari saat Subuh adalah -18°. Sedangkan dalam Taqribul Maqshad fil ‘amali bir rubu’il Mujayyab (Muhammad Muhtar bin Atharid al-Jawi al-Bogori) hlm. 20, ad-Durusul Falakiyah (Muhammad Ma’shumm bin Ali al-Maskumambangi) hlm.12, dan Ilmu Hisab dan Falak (KRT Muhammad Wardan Diponingrat) hlm. 72, menyebutkan bahwa h matahari saat Subuh adalah -19° sebagaimana Ibnu Yunus, Al Khalily, Ibnu Syathhir dan Ath Thusiy..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar