Cari Blog Ini

Selasa, 16 April 2013

Beringin Kenangan


Aku masih terdiam dengan sebatang rokok di tangan, tak henti kuhisap terus menerus. Kadang aku sendiri merasa aneh akan kebiasaanku ini. cukup satu jam untuk menghabiskan satu bungkus rokok. Hanya bersenang-senang dengan lamunan akan perubahan diriku, yang entah kapan akan ku akhiri kebiasaan ini. Pagi dan sore hari selalu kulewati dengan kegiatan yang sama, tempat yang sama.
Beringin indah, sebutanku untuk tempat yang sejak dua tahun lalu saat umurku genap dua puluh tahun telah resmi menjadi tempat aku menari dalam lamunan masa depan. Suatu masa yang kuharap dapat merubah kebiasaanku yang kadang aku sendiri menyadari hal itu bisa merusak hidupku. Hanya rokok dan segelas kopi yang menemaniku. Posisi pohon yang persis berada dibelakang rumahku, merupakan tempat strategis untuk bersantai ria dibawah kerindangannya. padahal  kini aku menginjak usia dua puluh dua tahun. Usia yang seharusnya aku berada dalam masa produktif seorang pria. ternyata tidak demikian dengan diriku. aku terus begini dan begini. Entah sampai kapan semuanya berakhir.
Pernah suatu hari aku berusaha menghentikan kebiasaanku. Kucoba sehari untuk tidak mendatangi tempat kesenanganku. Namun tak kusangka, ternyata waktu yang begitu longgar kulewati di rumah tak bisa menahanku untuk kembali mendatangi tempat itu. Nasehat teman-teman tetanggaku sudah  biasa kudengar. Suara-suara gunjingan ibu-ibu rumah tangga yang slalu mengingatkanku bahwa aku harus menjadi contoh buat adikku satu-satunya pun bagaikan angin lewat bagiku. Karena aku berfikir bahwa kakak cowo ga akan ditiru adik cewe. Aku tak pernah menggubris mereka. Hidupku adalah hidupku. Cukup kata-itu yang slalu terlontar dari mulutku.
Mungkin mereka tida tahu akan apa yang selalu aku kerjakan dibawah pohon kesayanganku. Mereka  mengira bahwa aku hanya melamun. namun aku wajari semua itu, karena memang sebatas itu yang bisa mereka lihat. Padahal dibalik itu ada rencana besar yang kususun untuk hari esokku. Rencana yang entah kapan aku mulai, aku nikmati dan petik hasilnya.
Hingga suatu saat sesuatu yang  aneh menurutku terjadi. Adikku datang menghampiriku saat aku tengah asyik dalam lamunanku.
“ Mas, mau samapi kapan terus begini?” ucapnya.
Aku sedikit kaget karena selama ini tak pernah dia seperti itu.
“ Ada apa kau, tumben skali ngomong gitu, kerasukan malaikat?”
“ aku butuh figur seorang kakak mas, kamu ga pernah berikan itu” keluhnya.
“ Sudah pergi sana, belajar yang rajin. Kamu kan udah gede, 3 SMA, tau mana yang jelek  sama yang baik. Kalo kamu anggap kelakuanku jelek, ga usah ditiru. Repot amat!” bentakku padanya.
“ aku cuma mau bilang, hargai hidupmu mas. Sebelum semuanya terlambat!” lanjutnya.
entah kenapa aku tiba-tiba emosi dan menghampirinya,
“ jangan sok jadi guru, aku bebas ngarahin hidupku ke arah mana!”
saat kami adu mulut tiba-tiba ibuku teriak dari balik pintu,
“ hentikan Ano! Kamu ga boleh saperti itu sama adikmu” ujarnya.
kulihat adikku berlari kedalam  rumah sambil menangis.
“ Si Ovi sewot banget bu, sok jadi guru. Aku...”
belum selesai aku bedalih ibuku langsung memotong,
“Ibu tau semuanya, ibu dengar semuanya. Dia bener, dia ga mau kakaknya hidup sia-sia. Coba kamu pikir, saat dia berjuang untuk dirinya sendiri, dia masih ingat sama hidup orang lain. Hidupmu!” Ucapnya panjang lebar. Ibu langsung masuk tanpa memberiku kesempatan untuk sekedar menanggapi apa yang ia ucapkan.
            Aku heran, kenapa tiba-tiba adikku bersikap demikian dan kenapa ibu begitu terlihat kesal saat memarahiku. jaur berbeda dengan kebiasaan mereka sehari-hari. Semuanya serasa begitu aneh. Tapi tiba-tiba aku coba merekam kembali kata-kata terakhir ibuku yang serasa agak aneh.
“...saat dia berjuang untuk dirinya sendiri, dia masih ingat sama hidup orang lain. Hidupmu!”
kucoba mencerna kata-katanya, tapi maksudnya belum bisa aku tangkap. Setahuku dia hanyalah anak yang rajin belajar. Karena dari dulu memang kami tidak terlalu dekat. Entah kenapa aku tidak terlalu senang bergaul dengan lawan jenis. Bukan berarti aku tidak suka cewe, namun aku tidak begitu suka untuk terlibat percakapan oanjang dengan mereka, walaupun itu adikku sendiri.
Hari sudah beranjak petang, langit barat pun mulai mempakan rona merahnya. Aku segera bergegas menuju rumah. Saat aku hendak masuk kamar, suara ibu menghentikanku.
“ coba pelajari semuanya lebih baik Ano, Sebelum semuanya terlambat”.
aku menoleh dan menjawabnya,
“maksud ibu apa sih? Aku ga paham”.
“ingat pesan adikmu”
“maksud ibu dia lagi usaha buat dirinya tu apa bu? Mau ujian? Yang mau ujian kan dia, kenapa aku yang harus repot?” jawabku sekenanya.
“sungguh kamu bukan Ano yang dulu” ucapnya sambil berlalu.
memang dulu orang bilang aku sangatlah baik, prestasiku tidak pernah mengecewakan . Hanya saja setelah beasiswa hasil pretasiku disabotase seorang guru yang tidak suka atas keberhasilanku sehubungan anak semata wayangnya kalah bersaing saat aku duduk di kelas 2 SMA dulu, aku merasa malas untuk berbuat apa-apa lagi. Aku tak bisa berbuat apa-apa karena semua bukti-buktiku kurang kuat. Satu hal yang sungguh aneh ialah kepala sekolah pun ikut termakan omongan guru tadi sehingga membenarkan tuduhan sang guru bahwa aku telah mencoret-coret dinding sekolah dengan kata-kata kotor. sehingga beliaupun mencabut beasiswaku. Sejak hari itu aku menjadi pemalas. Akibatnya, aku memilih untuk tidak melanjutkan studiku ke tingkat yang lebih tinggi. Padahal sebelumnya aku sudah memiliki segudang rencana untuk studiku di masa yang akan datang. Namun semuanya serasa hilang begitu saja.
saat aku kembali berjalan sambil terus berusaha mencerna kembali kata-kata ibu,tiba-tiba ayahku menyambung. Batinku sontak bergumam, keanehan apa lagi ini, semuanya tiba-tiba bersuara.
“kami baru saja mengantar adikmu dari rumah sakit, sungguh mengagetkan ternyata adikmu mengidap tumor di otaknya, dan sudah sangat parah. Dokter memvonisnya tinggal dua minggu lagi. Ayah sungguh menyesali sikap adikmu yang tidak mau menghiraukan rasa sakit di kepalanya. Ayah mohon kamu jangan kasar sama dia”.
seketika aku terdiam, tenggorokanku tercekat. Aku langsung menuju kamar, walaupun aku tak menampakan rasa aneh serta sedihku, namun hatiku terenyuh. Sambil bertanya-tanya apakah itu benar atau hanya sekedar gurauan.
            malam hrinya aku hanya melamun sambil berusaha memejamkan mata. Tiba-tiba ucapan ayah dan ibu kembali terngiang di telingaku, semua serasa terekam begitu jelas. Apa iya aku begitu cuek akan keadaanku dan keluargaku. saat itu aku juga teringat adikku. Wajahnya saat berlari sambil menangis tadi sore masih kuingat.
“apa yang harus aku lakukan?” gumamku,
“Apakah ini saatnya aku berubah? Tapi dengan cara apa?” pikiranku terus berusaha mencari solusi atas semua ini, namun disisi itu pikiran lain merasukiku,
“sudah lupakan saja, nikmati kebiasaanmu. Santai saja”
Aku terus berpikir sampai akhirnya akupun tertidur.
“dimana aku? Dimana semuanya?” teriakku begitu keras melihat tidak ada seorangpun disekitarku. Aku terus berlari kesana kemari namun tak ada seorangpun disana. Aku merasa sepi sendiri. Hingga akhirnya aku berteriak begitu keras.
“dimana kaliaann...”
saking kerasnya sampai akhirnya aku terbangun dari mimpiku.
“ternyata cuma mimpi” lirihku.
segera aku bangkit dari tempat tidurku dengan sisa-sisa kantuk yang masih melekat dimataku. Sayup-sayup kudengar suara orang mengaji. Semakin lama semakin jelas terdengar. Ternyata bukan seorang, tapi banyak. Disela suara itu kudengar suara tangisan, tangisan yang aku kenal sekali suaranya. Tangisan yang pernah kudengar saat dulu aku kehilangan nenekku. Ya, tangisan ibuku. Segera aku keluar kamar dan kulihat disana ibuku sedang menangisi seorang yang tertidur ditengah kerumunan dengan bertutupkan sarung disekujur tubuhnya.
“Siapa yang meninggal “ pikirku.
tiba-tiba aku teringat ayah, dimana ayah? Aku segera mengedarkan penglihatanku. Ayah tidak ada. Apakah ayah yang meninggal? Aku terus mencari ayah sampai akhirnya aku lega karena ayah sedang berada diluar rumah mengurusi tamu takziyah. Aku pun menghampiri kerumunan tersebut. Sungguh aneh, tidak ada seorangpun yang menghiraukanku, termasuk ibuku. Saat aku mendekat pun ibu tetap menangis disamping mayat.
betapa kagetnya aku saat seseorang membuka kain sarung penutup mayat tersebut. Ternyata orang yang meninggal itu aku. Aku terkujur tak berdaya. Mukaku pucat tanpa sedikitpun gurat darah terlihat disana. “Aku mati?!”batinku sedih,
aku terus menatap ke arah mayat itu. Tak terasa air mataku meleleh tak tertahan. Begitu cepat semuanya berakhir, aku belum memberi kebahagiaan sedikitpun buat semua orang, buat keluargaku.
rasa sesal langsung menyerangku tanpa henti. Sesal akan semua kebiasaan jelekku yang justru memuncak di detik-detik akhir hidupku. Hidupku berakhir dengan kekecewaan kedua orang tuaku kemarin sore. Adikku yang belum mendapat perhatianku selama hidupku. Semuanya hanya kujawab dengan air mata penyesalan.
“ mas Ano bangun, bangun mas, liat diluar banyak orang” tiba-tiba temanku semasa SMA, Umar,  ada dikamarku dan membangunkanku. Ternyata aku tadi mimpi. Bahkan bangun tidur tadi pun masih dalam impianku. Saat aku berusaha mengumpulkan kesadaranku dan mencoba meyakinkan diriku bahwa tadi bener-bener mimpi, tiba-tiba Umar menarik tanganku dengan keras sampai aku sedikit emosi. Namun saat aku hendak memarahinya kami sudah berada diluar kamar dan aku pun kembali kaget. Semuanya sama persis seperti apa yang ada dalam mimpiku. Seorang terbaring ditutupi kain sarung ditengah kerumunan orang yang sedang mengaji, ibu menangis disampingnya, ayah berada diluar melayani para pentakziyah yang mayoritas berbusana hitam. Namun dimana adikku, aku kembali teringat bahwa tadi dia tidak ada dalam mimpiku,
“Ovi meninggal mas” ucap Umar pelan.
aku menoleh dan kaget tak percaya. Selanjutnya aku segera berlari menghampiri kerumunan itu dan mendekati ibu. Begitu aku duduk ibu langsung memeluku erat.
“adikmu meninggal nak....” lirih ibu sambil menangis.
tak terasa air mataku kembali keluar, kali ini benar-benar asli dan bukan mimpi.
“maafin dia No, tadi malam sebelum tidur ia pesen agar ibu minta maaf sama kamu buat dia” lanjut ibu sambil terus menangis.”namun ternyata tadi subuh ia sudah tak bernyawa”.
aku segera menghampiri adikku yang telah terbujur tak berdaya. Kusingkap kain penutup diwajahnya. Kulihat wajah muda yang begitu tenang, damai serta sebuah senyuman masih terlukis oleh bibirnya yang mulai kaku. tiba-tiba aku tak kuat menahan air mataku yang semakin banyak keluar.
adikku telah pergi. Pergi untuk selamanya tanpa pernah mendapat perhatian aku sebagai seorang kakak. Adik yang selalu mengalah saat aku berebut sesuatu dengannya. Adik yang selalu menjadi kebanggaan keluarga. Adikku satu-satunya. Ovi Larasati.
namun aku sadar, aku ga boleh terlalu lama bersedih. Aku kembali mengusap air mataku. Aku harus menguatkan ibuku, agar adikku tenang dialam sana.
Proses pemakaman pun segera diselesaikan. Masa berkabung keluarga serasa begitu menyedihkan. Terutama terlihat di wajah ibuku yang belum terbiasa dengan semua ini. Tiba-tiba ibu memanggilku untuk duduk disampingnya.
“ segeralah berubah anakku, contoh kehidupan yang begitu singkat telah Tuhan tunjukan padamu. Atau dirimu memang sudah siap dengan semuanya? Apa kamu ga ingin berbuat banyak untuk orang lain, untuk keluargamu, ayah dan ibu? Pikirkanlah baik-baik anakku. Ibu yakin hatimu akan memahami semuanya.” Panjang lebar ibu mengingatkanku. Beliau segera bangkit dan meninggalkanku. Entah mengapa aku langsung begitu saja menerima semuanya dengan tenang.
Kejadian kemarin terus kuingat, kuputar rekaman dari sore sebelum adikku pergi, percakapan, mimpi dan sampai terakhir sebelum malam ibu measihatiku. Kini aku kembali terdiam dibawah pohon favoritku. Namun tak ada lagi rokok dan kopi, kini kuganti secangkir susu dan sepasang alat tulis. Mulai hari ini aku harus merubah semuanya. Segera kuambil pena dan kuprogram semua kehidupanku yang sempat hilang. Ternyata semuanya tak sesulit yang aku bayangkan sebelumnya.  Semuanya terasa mudah saat kita benar-benar mau berubah. Walaupun itu semua harus ada yang menjadi perantara. Adikku yang telah menjadi hidayah bagi perubahanku. Kadang penyesalan datang kembali merasuk pikiran. Namun aku tak bisa untuk hanya mendiamkannya. Aku yakin adikku akan senang disana bila melihat perubahanku sekarang. Kedua orang tuaku pun 10x lipat lebih sayang dengan perubahanku sekarang.
Kini semuanya telah berbeda, aku berhasil mendapat beasiswa kembali. Full sampai aku mendapat gelar sarjana. Namun aku tak akan pernah meninggalkan tempat favoritku. Tempat itu tetap menjadi lahan aku berpikir, namun kali bukan tanpa realisasi. Bahkan kini menjadi tempat sumber inspirasiku dalam menjalani semua tugas hidupku. Semuanya terekam disana, di Beringin Kenangan.

1 komentar: